Selasa, 23 September 2008

BATARA RAMA


Naskah lama di Nusantara mendokumentasikan sebagian gambaran dari kehidupan masa lampau antara lain, pikiran, perasaan, cita-cita, pengetahuan, pandangan hidup, norma-norma, agama, keagamaan, dan ungkapan seni. Naskah merupakan sumber pengetahuan dan informasi tentang kebudayaan masa lampau yang lebih otentik karena ditulis oleh orang pada zamannya. Di dalam naskah terkandung nilai-nilai luhur tentang kearifan-kearifan penataan kehidupan bagi kebahagiaan lahir dan batin. Nilai-nilai luhur tersebut banyak yang masih terpakai dalam kehidupan masa kini, bahkan banyak pula nilai-nilai luhur yang bersifat universal, diterima sepanjang masa, diterima oleh bangsa mana pun, serta mampu mengimbangi kemajuan zaman. Adapun yang dimaksud naskah dalam hal ini, menurut Lubis (1995: 22) adalah peninggalan dalam bentuk tulisan tangan.
Naskah-naskah di wilayah Nusantara ditemukan dalam berbagai bahasa dengan berbagai aksara, antara lain terdapat di Aceh, Ambon, Bali, Batak, Bugis, Jawa, Kalimantan, Lampung, Madura, Makasar, Minangkabau, Nias, Madura, Wolio, dan Sunda (Ricklefs & P. Voorhoeve, 1977; bdk Robson, 1994: 2; bdk Chambert-Loir & Oman Faturahman, 1999). Karena penulisan ini khususnya mengenai naskah Sunda, lebih lanjut akan difokuskan pada naskah-naskah Sunda. Yang dimaksud dengan naskah-naskah Sunda dengan batasan yang longgar adalah naskah-naskah yang berbahasa Sunda, namun di samping itu ada pula segolongan naskah Sunda yang tidak berbahasa Sunda antara lain, berbahasa Arab dan Jawa. Membuat batasan secara tepat tentang istilah naskah Sunda ini sangat sulit karena di dalamnya terkandung indikator meliputi, etnis, bahasa, dan wilayah. Naskah Sunda yang masih ada (extant) dapat ditemukan di luar dan di dalam negeri. Di luar negeri naskah-naskah Sunda tersimpan di negeri-negeri Inggris (Ricklefs & P. Voorhoeve, 1977: 181, 185; bdk Ekadjati (ed), 1988: 7; Robson, 1988: 3; Chambert-Loir & Oman Faturahman, 1999: 186); Swedia (Ekadjati (ed), 1988: 426); Belanda ( Ibid: 2, 7; Robson, 1988: 3; Chambert-Loir & Oman Faturahman, 1999: 182), Australia, Jerman, Polandia, Perancis (Ibid: 182, 188), dan Malayasia (Ekadjati (ed), 1988: 7).
Di dalam negeri naskah-naskah Sunda tersimpan di lembaga-lembaga resmi, lembaga-lembaga masyarakat, dan perseorangan. Di lembaga resmi naskah-naskah Sunda dapat ditemukan antara lain di Museum Nasional – Jakarta (sekarang dipindahkan ke Perpustakaan Nasional – Jakarta), Museum Negeri Jawa Barat - Bandung, Museum Pangeran Geusan Ulun - Sumedang, Museum Cigugur – Kuningan (Ekadjati (ed), 1988: 34 - 425), Yapena (Yayasan Pernaskahan Nusantara) - Bandung, Keraton - Cirebon, Universitas Padjadjaran - Bandung (Ekadjati & Undang A. Darsa, 1999), dan Fakultas Sastra UI – Depok ( Chambert-Loir & Oman Faturahman, 1999: 185). Di lembaga masyarakat, naskah Sunda dapat ditemukan di Ciburuy (Pradotokusumo, dkk, 1986). Milik perorangan, naskah-naskah Sunda dapat ditemukan tersebar di sejumlah kabupaten di Jawa Barat (Ekadjati (ed), 1988: 426 - 545).
Isi naskah Sunda (Ekadjati (ed), (1988: 34 - 151) yang berada di Museum Nasional – Jakarta dan Negeri Belanda dikelompokkan ke dalam 12 jenis yaitu: (1) agama, (2) uraian tentang kebahasaan, (3) hukum/aturan, (4) kemasyarakatan, (5) mitologi, (6) pendidikan, (7) pengetahuan, (8) primbon, (9) sastra, (10) sastra sejarah, (11) sejarah, dan (12) seni. Isi naskah-naskah Jawa Barat yang berada pada 5 lembaga yaitu: 1) koleksi naskah ÉFEO (École Française d’ Extrème-Orient) di Bandung, 2) koleksi naskah keraton-keraton di Cirebon, 3) koleksi naskah Universitas Padjadjaran di Bandung, 4) koleksi naskah Museum Jawa Barat di Bandung, dan 5) koleksi naskah Museum Geusan Ulun di Sumedang, oleh Ekajati & Undang A. Darsa (1999) juga dikelompokkan ke dalam 6 jenis meliputi: (1) sejarah; mencakup naskah-naskah dalam kategori sejarah Jawa Barat, sejarah Jawa (Tengah dan Timur), dan Mitologi, (2) Islam; mencakup naskah-naskah al Quran, cerita Islam, fikih, tasawuf, manakib, tauhid, adab, dan doa, (3) sastra, (4) adat-istiadat, (5) primbon dan mujarobat, (6) lain-lain. Menurut hemat penulis, kelompok naskah sastra cakupannya sangat luas. Oleh karena itu pembahasan akan difokuskan pada kelompok sastra saja, juga karena penelitian ini dititikberatkan pada karya sastra.
Sastra Sunda dalam naskah, menurut hemat penulis dapat dikelompokkan ke dalam 7 genre,1 meliputi (1) mantra, (2) sastra Sunda Kuno, (3) mitologi, (4) sisindiran, (5) pantun, (6) syair, (7) wawacan, dan (8) sastra prosa. Jenis karya sastra yang dipilih menjadi objek penelitian ini adalah jenis wawacan. Wawacan adalah cerita2 panjang yang digubah menurut bentuk pupuh3, bentuk ini merupakan pengaruh dari kesusastraan Jawa melalui kaum bangsawan dan alim ulama yaitu kira-kira pada pertengahan abad ke-17 M4. Di antara sepuluh jenis karya sastra Sunda dalam naskah ini, wawacan memiliki subject matter ‘pokok isi’ yang paling beragam,5 dibedakan dalam dua golongan besar yakni wawacan nonnaratif dan wawacan naratif. Menurut hemat penulis, wawacan naratif meliputi: (1) wawacan ceritera wayang, (2) wawacan mite, (3) wawacan kosmologi, (4) wawacan keislaman, (5) wawacan babad, (6) dan wawacan “ceritera rekaan”. Apabila munculnya wawacan dilihat dari titimangsa abad ke-17, bentuk karya sastra ini dalam khasanah kesusastraan Sunda telah melalui kurun waktu kurang lebih tiga setengah abad.
Di antara wawacan naratif, wawacan mite menjadi perhatian penulis karena ditemukan Wawacan Batara Rama (selanjutnya disingkat WBR) karya RAA Martanagara. Wawacan jenis mite ini belum pernah diteliti, belum mendapat perhatian yang memadai. Pengkajian lengkap dari segi filologi dan sastra terhadap wawacan baru pada jenis babad yakni: Sejarah Sukapura: Sebuah Telaah Filologis oleh Emoeh Hermansoemantri (1979). Alasan inilah yang mendorong penulis memilih WBR sebagai objek penelitian disertasi ini, WBR belum diteliti baik dari segi filologi maupun sastranya. WBR sebuah karya sastra Sunda yang mengisahkan kehidupan tokoh Sri Rama. Kisah Sri Rama terkenal dengan sebutan Ramayana, Ramayana sebagai karya sastra sangat terkenal di dalam dan di luar negeri.6
Ramayana berasal dari ceritera India Kuno, diciptakan beberapa abad sebelum Masehi. Kisah ini di India terdapat berpuluh-puluh bentuk dengan berbagai bahasa daerah dan berbagai versi, versi yang paling terkenal dan dianggap baku ialah Ramayana karangan Walmiki (Ikram, 1980: 1; bdk Lal, 1980 dalam edisi terjemahan: 1995: xxxiv; Zoetmulder, 1983: 277; Wessing, tanpa tahun). “Ramayana memasuki khazanah kesusastraan Nusantara Kuno ke pulau mas Suwarna Bhumi Sumatra dan Jawa. Dalam khazanah sastra Nusantara tokoh Rama sebagai divine hero, diagungkan, kisahnya dianggap legenda suci, dilukiskan dalam candi-candi Hindu. Dalam penyebaran kisahnya, kemudian terjadi perubahan, di samping penyajian peristiwa-peristiwa seperti kisah aslinya ada juga peristiwa-peristiwa yang ditambahkan, dihilangkan, atau diubah” (Stutterheim, 1989: 1-3). Di dalam khazanah kesusastraan tulisan Nusantara Kuno tersebut, pada khazanah kesusastraan Melayu (antara lain Sumatra) kisahnya terkenal dengan sebutan Hikayat Sri Rama (kemudian disingkat HSR) berbahasa Melayu Kuno, di Pulau Jawa Kakawin Ramayana 7 (kemudian disingkat KR) berbahasa Jawa Kuno dan Pantun Ramayana8 (kemudian disingkat PR) berbahasa Sunda Kuno. Genre yang akan diberikan ulasan hanya KR dan PR karena KR berkaitan dengan kesejarahan kisah WBR dan PR dengan WBR sama-sama diciptakan di wilayah Sunda.
PR berbeda versi dengan kisah Rama yang berada di Nusantara lainnya begitu pula dengan WBR. Sayang sekali tradisi PR tersebut terhenti, tidak terwariskan kepada masyarakat Sunda generasi kemudiannya sehingga sama sekali kisah Sri Rama dalam PR tersebut tidak dikenal lagi. ”PR sebuah kisah besar putra Rawana dari Manondari, “the great story of the children of Rawana, of the offspring of Manondari.” Kisah ini diawali setelah peperangan dahsyat antara Rawana dengan Rama terjadi. PR mengedepankan masalah incest motif antara Sita dengan Rawana” (Noorduyn, 1971) walau incest tersebut sebenarnya tak pernah terjadi. Putra Rawana bernama Manabaya menuntut balas kepada Rama. Munculnya tokoh Manabaya adalah ketidaksejalanan dengan kisah Rama WBR, di dalam WBR sehabis peperangan, keturunan Rahwana tumpas. “Adapun putra Rama di dalam PR yaitu Bujanggalawa dengan Puspalawa - muncul karena kekuatan magis pertapa (Aki Hayam Canggong). Tokoh Bujanggalawa dengan Puspalawa sejajar dengan epik Sansekerta Kuśa dan Lava, sedangkan Manondari dengan Mandodari.” PR Sunda Kuno ini merupakan tanggapan terhadap sastra klasik Sansekerta Rāmayana dari buku Uttarakānda, berupa ringkasan dengan sejumlah detail-detail perbedaan. Perbedaan tersebut antara lain masuknya pengaruh tradisi Sunda ke dalam tokoh dan latar” (Ibid, 1971).
Uttarakānda9 adalah buku yang kemudian dianggap kesatuan dari Rāmayana versi Walmiki yang terdiri dari 7 buku, yang berkembang dalam sastra tutur.10 Ketujuh buku tersebut adalah: Bala – Kanda, Ayodya – Kanda, Aranya – Kanda, Kiskenda – Kanda, Sundara – Kanda, Yudya – Kanda, dan Uttara – Kanda Yuda – Kanda (Lal, 1980: xxvi – xxxiii). Penelitian Bulcke mengungkap bahwa Walmiki menulis Ramayana hanya 5 buku, Bala – Kanda dan Uttara – Kanda bukan tulisannya karena Bala – Kanda mengandung beberapa kisah yang tak ada hubungannya dengan Ramayana, Uttara – Kanda terdapat isi yang bertentangan dengan buku-buku sebelumnya (Lal, 1980: xxiv –xxvi). Isi Uttara - Kanda yang penting yang ada benang merah dengan kisah Rama di dalam PR walau tidak jelas yakni, pengusiran Sita karena rakyat menyesali Rama mau menerima kembali istrinya, Lawa dan Kusa (lihat uraian sebelumnya) putra Rama yang menceriterakan Ramayana, dan Rama beserta saudaranya memasuki Wisnu naik ke surga (Ibid).
Dalam masyarakat Sunda, kata ‘Ramayana’ telah disebut dalam naskah kuno Sanghiyang Siksa Kanda ng Karesian yang bertiti mangsa 1518 M, dalam penyebutan kisah-kisah yang beredar pada waktu itu.11 Disebutnya kata ‘Ramayana’ pada naskah itu merupakan bukti bahwa ‘Ramayana’ dan sejumlah ceritera lainnya telah dikenal oleh orang Sunda pada kurun waktu tersebut (Noorduyn, 1971). Kendati tradisi kisah Rama dalam PR terhenti, dalam beberapa folklore berbagai jenis musik Sunda yang beredar masa kini, nama Banondari (Manondari dalam PR) dikenali cukup akrab walau hanya kenangan namanya. Diperkirakan kisah Rama PR dikenal baik oleh masyarakat Sunda Kuno. Namun RAA Martanagara menggubah WBR bersumber pada Serat Rama (kemudian disingkat SR) berbahasa Jawa seperti dikemukakan di dalam kolofon WBR.
Ada hal menarik yang memunculkan pertanyaan, mengapa RAA Martanagara menggubah WBR dari SR tidak dari PR yang terdapat dalam khasanah pernaskahan Sunda. Apabila dilihat dari sudut pandang beliau sebagai pengarang dan sikap hidup RAA Martanagara yang penuh perhatian terhadap ilmu pengetahuan (Lihat Martanagara, 1922) kecil kemungkinannya tidak mengetahui hal - ikhwal PR. Di dalam kolofon WBR (Lihat nomor pada XM/35/3026) dikemukakan bahwa kisah Sri Rama sangat terkenal di Pulau Jawa. Keterangan itu merujuk pada pengertian bahwa pengarang mengetahui banyak tentang kisah Sri Rama. Adapun RAA Martanagara menggubah kisah ini dari SR, diperkirakan keteladanannya-lah yang ingin dikedepankan dalam gubahannya (Lihat nomor pada XM/36/3027). SR sebagai sumber gubahan WBR yang asal-usulnya dari KR.12 secara mentradisi menyajikan ajaran (Lihat keterangan selanjutnya).
KR satu-satunya kakawin yang ditemukan di Jawa Tengah, karena kemudian tradisi penggubahan kakawin berpindah ke Jawa Timur (Pradotokusumo, 1984: 2). KR ditulis orang kurang lebih abad ke-9 (Poerbatjaraka, 1952: 2; bdk Pigeaud, 1967: 176; Ikram, 1980: 2; bdk. Pradotokusumo, 2005). Pada tahun 1934 Himansu Bhusan Sarkar menunjukkan kemiripan pada sebuah pupuh tertentu antara KR dengan Ravanavadha (kematian Rahwana) karangan Bhatti yang ditulis pada abad ke-6 atau ke-7 M yang dikenal sebagai Bhatti-Kavya. Manomohan Gosh, meneruskan penelusuran ini, menunjukkan adanya kemiripan antara keduanya sebanyak delapan bait (Poerbatjaraka, 1952: 3; bdk Noorduyn, 1971: 151; Zoetmulder, edisi terjemahan 1983: 289). Walaupun KR menunjukkan ada bagian yang mirip dengan Ramayana Bhatti-Kavya, namun dengan Ramayana-Walmiki memiliki kesejajaran ceritera13 (lihat Stutterheim, 1989: 3-15; lihat pula Lal, 1995).
KR kemudian mendapat sambutan dari masa ke masa. Pada pergantian abad ke-18 ke abad 19, Yasadipura menggubah kembali KR ke dalam Serat Rama Jarwa14 (Teuuw, 1984: 216; Sudewa, 1989: 9 –10). Karena adanya tradisi penyalinan, “pada khasanah naskah Jawa terdapat sejumlah judul yang mengisahkan tokoh Rama” (Girardet., Cs, 1983; bdk Hadisutjipto, 1985; Behrend (ed), 1990: 382 - 396; Behrend & Titik Pudjiastuti, 1997: 287 - 292). Melihat rentang waktu yang sangat jauh antara penggubahan KR dengan penjarwaannya pada abad ke-18-19 sangat kecil kemungkinannya, Yasadipura menggubah Serat Rama (kemudian disingkat SR) dari KR. Salah satu di antara SR yang digubah pada masa ini, ditinjau dari penggunaan pupuh termasuk Jarwa Macapat,15 oleh RAA Martanagara dijadikan sumber penggubahan WBR.
Seperti dikemukakan Stutterheim yang telah disebut sebelumnya, bahwa Ramayana di Nusantara kemudian mengalami penambahan, pengurangan, dan pengubahan. Begitu pula kisah Rama dari KR kemudian muncul SR yang dipisahkan oleh jarak yang sangat jauh, jarak waktu kurang lebih 10 abad, jarak jenis sastra, jarak bahasa, dan jarak budaya, sudah tentu mengalami penambahan, pengurangan, dan pengubahan. Perubahan ini pula, menurut Poerbatjaraka (1952: 2-5) “disebabkan karena penulis tidak begitu memahami lagi bahasanya, namun begitu, petransmisian alur dari kisah Rama dari dalam KR ke SR tidak berubah.” Selain itu tradisinya pun masih ada yang dipertahankan. Kemudian dari sumber SR, digubah WBR yang jarak waktu penggubahan dan penciptaan kembali tidak begitu jauh yakni kurang lebih dua abad. Namun tentu saja antara penciptaan dan pembacaan oleh RAA Martanagara tersebut berada dalam lingkungan yang berbeda.
RAA Martanagara (1845 – 1926), seorang menak - bangsawan ternama, keturunan Sumedang yang menjadi bupati Bandung (1893 – 1918). Beliau seorang terpelajar pada masanya, mampu berbahasa Belanda, Melayu, dan Jawa (Martanagara, 1921; bdk Lubis, 1990: 52 – 54). Awal penulisan WBR diperkirakan ketika pengarang diangkat menjadi bupati Bandung, pengangkatannya sebagai bupati Bandung pada tanggal 29 Juni tahun 1893, adapun WBR selesai ditulis pada tanggal 4 Oktober tahun 1897. Sebagai bupati Bandung, RAA Martanagara mendapat sebutan Dalem Panyelang ‘Dalem Penyelang’ karena bukan keturunan dari para bupati Bandung. RAA Martanagara dengan para pejabat Belanda direncanakan akan dibunuh oleh kelompok lawannya yang menginginkan jabatan bupati tersebut, namun pembunuhan itu gagal (Martanagara, 1921; bdk Lubis, 1990: 60 – 79). Menjelang penulisan WBR selesai, pengarang mendapat cobaan lagi, yaitu istrinya Raden Ajeng Sangkaningrat16 wafat pada tanggal 5 bulan Juni tahun 1897.
Apakah pengalaman kehidupan pengarang yang cukup berat tersebut yang menggugah kesadaran hatinya untuk menggubah sebuah karya yang sarat dengan keteladanan bagi pemimpin dan peletakan pandangan hidup yang mantap bagi seluruh umat manusia, sulit dipastikan. Dalam kolofon yang terselip di dalam kisahan, ada ungkapan demikian: reh maksudna nyundakeun Sri Rama, pakeun ngalolongsong hate, nyegah napsu ka batur, mamrih kana ka budi manis, sabab carita Rama, eta leuwih alus, rea keur baris tuladan, lalampahan nu murka reujeung nu adil, kabeh bukti jadinya ‘maksud penggubahan kisah Sri Rama dalam bahasa Sunda, untuk meringankan beban hati, mencegah timbul nafsu amarah kepada orang lain, supaya (nafsu yang menyimpang) berubah menjadi budi manis, sebab kisah Rama, sangat bagus, banyak keteladanannya, perilaku murka dan benar, semua terbukti adanya pembalasannya.’ Demikianlah ungkapan itu seolah-olah ada kaitan dengan jalan hidup pengarang.
Pada waktu WBR ditulis yaitu pada akhir abad ke-19, para bangsawan Sunda dalam keadaan sulit, keadaan ini dirasakan pula oleh pengarang (lihat uraian selanjutnya) dan dalam masyarakat Sunda tengah berlangsung perubahan-perubahan. “Pada awalnya kekuasaan para bupati di wilayah Priangan lebih besar daripada kekuasaan para bupati di wilayah lainnya di Pulau Jawa. Sejak tanggal 1 Juni tahun 1871 dikeluarkan Preanger Reorganisatie atau Peraturan Baru Tanah Priangan. Sejak itu, kedudukan para bupati dan para pejabat pribumi di wilayah Priangan, sama seperti rekan-rekannya di wilayah lain di Pulau Jawa, dianggap sebagai pegawai pemerintah, bekerja untuk kepentingan pemerintah, dan digaji oleh pemerintah kolonial (Ekajati, 1982: 260 – 261; bdk Martanagara, 1921: 20 - 25). Di lain pihak, tengah terjadi semangat revitalisasi bahasa dan kebudayaan Sunda yang sebelumnya didominasi oleh kebudayaan Jawa. Pelopor revitalisasi tersebut adalah KF Holle (1822 – 1896) dan Raden Haji Moehamad Moesa (1822 – 1886), (Lubis a, 2000: 114 – 120; bdk Moriyama, 2005; Ekadjati, 2004: 29 - 32). Pada akhir abad ke-19 Belanda tengah mengembangkan pendidikan formal17 untuk kalangan anak-anak bumiputera (Lubis a, 2000: 49; 2002: 30). Pada situasi sosial politik yang cukup berarti (significant) itulah, WBR digubah oleh pengarangnya.
WBR tergolong wawacan mite,18 sifat mitis dieksplisitkan pada judul dengan disebutnya kata batara, dari segi isi sifat mitis ini sangat pekat, Sri Rama sebagai tokoh utama dan tokoh sentral adalah titisan Wisnu (titis-an Dewa Wisnu) yang membawa dirinya ke dalam pengembaraan yang panjang dalam rangka menghancurkan kezaliman dan kemurkaan yang ditokohi oleh Raja Dasamuka. WBR termasuk juga ke dalam jenis wawacan wayang karena Ramayana adalah salah satu kisah besar yang sangat terkenal dalam kesenian pertunjukan wayang (performance art) dengan kisah besar lainnya Mahabarata terutama wayang golek. Namun pembicaraan difokuskan pada WBR sebagai karya sastra dalam tulisan. Sebagai kisah yang diwarnai oleh sifat mite, kisah yang berasal dari India ini sudah tentu dilatarbelakangi oleh agama atau keagamaan pra-Islam Hindu Budha. Adapun WBR diciptakan oleh RAA Martanagara pada akhir abad ke-19, pada waktu itu masyarakat Sunda sudah memeluk agama Islam selama kurang lebih 3 abad sejak abad ke-16, dan bentuk wawacan itu sendiri, sebuah genre - produk sastra zaman Islam.
Kisah Rama dalam WBR ini bisa dikatakan, transmisi KR yang lahir pada abad ke-9 dengan latar belakang agama Hindu Budha, berbahasa Jawa Kuno, yang hidup dari masa ke masa, kemudian mendapat sambutan pembaca pemeluk Islam suatu zaman. Pengarang WBR adalah pembaca - penyambut kisah Rama yang dilihat dari segi individu, memiliki bakat, pengalaman, dan pengetahuan yang berada dalam ikatan budaya (Kulturgebundenheit) dan jiwa zaman (Zeitgeist).19 Identitas individual maupun kolektif berupa budaya dan jiwa zaman turut dalam rekonstruksi kisah Rama ketika proses membaca yang kemudian diwujudkan dalam bentuk teks WBR secara utuh. Teks WBR bisa dilihat dari berbagai jalinan struktur serta jalinan berbagai ide, yang berbeda dengan sumber penggubahannya karena “sebuah teks (dalam hal ini kisah Rama yang menjadi sumber penggubahan WBR) tidak dapat dipandang sebagai produk tertutup dan mandiri” (Cavallaro, 2001, dalam edisi terjemahan 2004: 91).
WBR sebagai wawacan, dibangun oleh sejumlah runtuyan pada dari jenis-jenis pupuh (untaian bait-bait dari berjenis pupuh )20. Pupuh adalah bentuk puisi yang kebahasaan dan isinya dibatasi oleh matra pupuh (dangding). Adanya matra pupuh ini menimbulkan ketidakleluasaan pemilihan diksi dalam penyajian ceritera, sehingga bahasa karya-karya dalam bentuk wawacan pada umumnya terasa kaku. Bahasa WBR tidak demikian adanya, ceritera berlangsung dengan lancar tanpa terasa pemaksaan dangding. Kiranya kelancaran pengungkapan bahasa ini akibat pengungkapan kisah dengan bahasa yang tidak dipaksakan, yaitu dengan teknis penggalan atau enjambement, baik enjambement antarpadalisan maupun enjambement antarpada, yakni kebulatan atau kepaduan pengertian tidak dipaksakan harus dalam satu padalisan atau satu pada melainkan dipenggal, kemudian dilanjutkan ke padalisan atau pada berikutnya. Gaya seperti ini, jarang ditemukan dalam wawacan Sunda, jadi terasa lebih indah dari bahasa wawacan pada umumnya. Inilah salah satu keunggulan WBR. Dangding sebagai dasar penggubahan wawacan, tidak hanya merupakan ikatan dari segi kebahasaan berupa guru wilangan, guru lagu, dan guru gatra, namun merupakan wahana yang mengusung perilaku dan karakter emosi. Dengan demikian, WBR mengemas sejumlah perilaku dan sejumlah emosi tertentu.
Walaupun WBR sudah sangat jauh jaraknya dengan kakawin dilihat dari berbagai hal, jarak matra puisi, jarak waktu, jarak bahasa, jarak agama, jarak lingkungan sosial, dan jarak antaretnis, namun paparan naratif WBR masih menampakkan paparan kakawin21 meliputi “lukisan”, ajaran, dan perang. Dengan adanya penggarapan “lukisan” secara meluas dan mendalam, terekam antara lain lingkungan alam, budaya, adat, keagamaan, dan seni, yang kini tersisihkan dari kehidupan. Ajaran22 dalam WBR digarap secara meluas, disediakan dalam lahan yang lebar, terutama ajaran bagi penguasa/raja dan ajaran pokok bagi seluruh manusia secara umum. Itulah sebabnya ajaran ini, meskipun tidak menjadi titik focus analisis WBR, ditambahkan secara proporsional dalam kajian struktur. formal Perang23 dalam WBR merupakan titik sentral yang kait-mengait ke segala arah untuk melenyapkan tokoh antagonis yang menjadi sumber kekacauan dunia ‘reregeding bumi’ oleh tokoh protagonis, sehingga dengan perang, menyandangkan gelar ‘Pemimpin Kekuatan Dunia’ Ratu Pakuning Bumi pada dirinya.
Pada paparan lukisan, ajaran, dan perang inilah terletak salah satu artistik keindahan WBR yang membangkitkan daya estetik imaji pembaca. Gambaran artistik fisik dunia merangsang daya estetik imajinasi atas penikmatan alam, gambaran artistik pencapaian religius dan artistik moral merangsang estetik penataan hati, mendorong penghayatan diri, mengatur perilaku untuk pengejaran kebahagiaan lahir batin dalam mengarungi kehidupan.24 Adanya paparan naratif WBR yang mirip dengan struktur naratif kakawin merupakan sambutan atas sebuah ciri dari karya sastra kuno yang telah menjalani perjalanan rentang waktu yang sangat jauh oleh individu pengarang yang mewakili kolektif dari hamparan sebuah zaman yang bahasa dan sarana perwujudan karyanya jauh berbeda. Hal ini mengisaratkan bahwa sebuah karya sastra ada dalam ketegangan antara konvensi dan inovasi.25 Begitu pun WBR, karya ini berdiri kokoh di atas ketegangan konvensi dan inovasi, menampakkan identitas dirinya yang khas, yang berbeda dengan kisah Rama lainnya, walaupun WBR digubah dari Serat Rama berbahasa Jawa. Kisah Rama itu sendiri boleh statis karena sebuah mite yang validitasnya ditentukan oleh legitimasi dari sebuah konvensi budaya, namun ide-ide yang mewarnai dirinya berubah. Jadi WBR adalah WBR, keberadaannya tidak serta merta ada, dan KR yang kuno itu ciri-cirinya tidak hilang dengan serta merta, namun melalui proses.26 Demikian gambaran mula WBR, sebuah karya luhur yang menggugah manfaat dan nikmat.
Penelitian terhadap WBR yang memuat sejumlah nilai-nilai mulia dari kehidupan, yang masih sangat segar untuk konsumsi masyarakat masa kini, sangat penting dilakukan. Seyogyanyalah potensi dari karya sastra ini turut membangun mental moral bangsa, guna menepis pengaruh luar yang menyesatkan. Bangsa Indonesia yang tengah tertatih-tatih menyongsong masa depan yang lebih baik, tergilas keserakahan penghuni zaman yang orientasinya sekedar pencapaian urusan dunia semata yaitu meraih kenikmatan sesaat yang bersifat semu, dengan memutar-mutarkan masalah, memutar-balik, atau membelokkan, serta menghalalkan segala cara. Keadaan seperti ini tidak boleh berlangsung berkepanjangan. Hal-hal yang menimbulkan kemudaratan harus segera dihentikan dari berbagai segi. WBR sebagai sebuah karya sastra Nusantara, menyajikan pijakan hidup yang kokoh, mengingatkan kehakikian kehidupan, yakni pati ‘ajal’.
Ajal adalah sebuah lorong yang pasti dilalui oleh perjalanan manusia, siapa pun adanya baik manusia pada umumnya maupun manusia eksklusif yaitu para pemimpin (raja). Adapun ajal menurut WBR, ada pati mulya, pati sinelir, mulya ning pati, pati luhung ‘ajal mulia, ajal terpilih’ yang dipertentangkan dengan ‘pati murka dursila, pati hina ‘ajal dalam kemunkaran, ajal hina.’ Dalam karya ini manusia diingatkan, untuk menginginkan ajal mulia guna memperoleh Sawarga Mulya yang kebahagiaan dan kenikmatannya panjang, kekal, tiada akhir. Untuk mencapai ajal mulia, harus berdiri di tempat yang benar lahir dan batin semasa menjalani kehidupan dunia, karena Penyedia lahan kembali yang bahagia dalam kehidupan kekal di Alam Kalanggengan ‘Alam Keabadian’ alam kelak setelah kematian adalah Yang Maha Benar. Keteladanan, baik keteladanan tersurat maupun tersirat dalam WBR sangat berlimpah. Nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya, seyogyanyalah berada kembali dalam alam pikiran pemiliknya, mengakar pada budaya bangsa, guna menepis pengaruh yang menyesatkan. Penggalian nilai-nilai kehidupan luhur yang terkandung di dalam WBR ini, dengan melalui pengkajian sastra, namun terlebih dahulu naskah WBR harus dikaji dari segi filologi. (Selanjutnya transmisi WBR dijelaskan dalam Bab III).
. Naskah WBR yang ditemukan dalam penelitian ini sebanyak 5 buah, 3 buah beraksara Pegon dan 2 buah beraksara Latin. Sebuah teks naskah yang digubah oleh seorang pengarang, akibat adanya tradisi penyalinan menjadi sejumlah varian teks naskah yang memiliki perbedaan aksara dan bacaan. Adanya variasi bacaan yang terdapat pada teks-teks - naskah - sejenis inilah sebuah teks naskah, apabila akan diedisi harus terlebih dahulu dikaji dari segi filologi, guna diperoleh sebuah teks yang paling mendekati aslinya. Adapun naskah otograf WBR (naskah WBR yang ditulis oleh pengarang) atau paling tidak naskah arketipe (naskah yang disalin dari naskah otograf), masih ada. Keadaan ini sangat langka dalam kerja filologi naskah-naskah Sunda khususnya atau naskah-naskah pada umumnya. Walaupun naskah otograf atau naskah arketipe ditemukan, namun kerja filologi terhadap WBR tetap harus dilakukan.
WBR sebagai sebuah karya sastra yang cukup panjang terdiri dari 3027 pada, ditulis dengan aksara Pegon, dalam bentuk puisi wawacan yang terpadu dalam jalinan matra pupuh, dan erat hubungannya dengan seni suara, keadaan ini potensial mengandung penyimpangan yang ada kaitannya dengan konteks ceritera, aksara, matra pupuh, dan sistem tulisan. Kerja filologi terhadap WBR mengungkap keadaan teks naskah otograf ataupun arketip, dalam penyimpangan yang disebut sebelumnya. Disertasi ini menyajikan edisi teks WBR yang dianggap bersih dari penyimpangan, ada terjemahan teks dalam bahasa Indonesia, dan pengkajian dari segi sastranya. Kiranya pendekatan struktur dan intertekstualitas cukup memadai dalam pengkajian WBR yang kompleks ini dari segi sastranya.
Pendekatan struktur merupakan pendekatan yang tepat dalam menelusuri keutuhan sebuah karya. Seperti diungkapkan sebelumnya, karya sastra ini digubah berdasarkan sumber SR berbahasa Jawa. Walaupun penggubahan WBR dilihat dari pengisahan dan penggunaan pupuh “hampir mirip” dengan sumbernya, namun pada bagian akhir, pengarang menyebutkan bahwa hasil gubahannya tidak menyajikan seperti sumbernya yang dilandasi oleh Agama Budha. Pernyataan ini, mengisaratkan bahwa WBR memiliki struktur yang khas yang berbeda dengan aslinya. Pengkajian struktur mengungkap WBR sebagai karya yang utuh dalam rangka penelusuran maknanya. Pendekatan struktur meliputi struktur formal dan struktur naratif, pendekatan struktur formal dilihat dari sudut pandang WBR yang dibangun oleh runtuyan pada pupuh dan pendekatan struktur naratif dilihat dari sudut pandang unsur pembangun ceritera, meliputi alur, tema, dan tokoh. Pendekatan struktur baru menguak arti dari karya, adapun menguak makna yang ”penuh” dengan mengadakan pendekatan intertekstualitas, yaitu mengadakan pendekatan sejarah terbentuknya karya, dengan menelusuri karya-karya yang turut membangun WBR. Pendekatan intertekstualitas hanya dilihat dari sudut pandang keagamaan.

1 Genre sastra Sunda dalam naskah secara lengkap, lihat lampiran 1.
2 Ajip Rosidi (1966: 11-12) membatasi wawacan dengan ceritera. “cerita. – ceritera, 1 runtutan peristiwa, kejadian; 2 dongeng; 3 kisah” (Badudu – Zain, 1994: 277). Cerita pada arti kamus tersebut bisa naratif, bisa nonnaratif. Istilah naratif (Wellek & Austin Warren, 1977 terjemahan 1989: 276 - 297) adalah pola atau struktur atau organisme yang meliputi plot, tokoh, latar, pandangan hidup, dan nada.
3 Lihat Lampiran 4.
4 Ajip Rosidi menyatakan bahwa wawacan masuk ke dalam khasanah kesusastraan Sunda pada abad ke-17, tidak berbeda jauh dengan pendapat Viviane Sukanda – Tessier. Sukanda – Tessier (1983: 13) berpendapat bahwa Cariosan Prabu Silihwangi yang digubah dalam bentuk pupuh, berbahasa Jawa Kuno, diperkiraan digubah pada akhir abad ke-17 awal abad ke-18. RI Adiwidjaja mengemukakan bahwa dangding berasal dari Mataram, masuk ke dalam khazanah kesusastraan Sunda pada abad ke-17 (1950: 48). MA Salmun (1958: 41) mengemukakan bahwa dangding berasal dari Mataram.
5 Ajip Rosidi (1966), memberikan contoh-contoh wawacan hanya meliputi ceritera yang bersifat naratif. Istilah wawacan yang berlaku di masyarakat secara produktif, meliputi naratif dan nonnaratif, seperti contoh wawacan-wawacan nonnaratif berikut ini. Pada buku Inventarisasi Penerbitan Buku-Buku Berbahasa Sunda yang dicetak dengan Huruf Latin (Tim Fakultas Sastra Unpad, 1981) terdapat judul-judul wawacan antara lain: Wawacan Bab Nyangkok, Ngadeder, sareng Melakna Jeruk di Cikonéng (Adipradja, 1914), Wawacan Iman, Élmu, jeung Amalna (Baing, 1979), Wawacan Jalan Pangupajiwa (Danoemihardja, 1914), Wawacan Elmuning Tani (Djajadiredja, 1913), Wawacan Mikat Uang ku Agama (Poeradinata, 1924), Wawacan Pamiara Banda (Sastradiredja, 1917).
Keragaman wawacan meliputi wawacan naratif dan nonnaratif, seperti tergambar dalam Lampiran 3. Pada pembahasan selanjutnya, wawacan hanya meliputi wawacan naratif karena penelitian ini tentang wawacan naratif.
6 Lihat lampiran 5
7 Istilah kakawin memiliki pengertian kurang lebih, buah hasil dari puisi keraton, berupa syair, yang ceriteranya bersifat epis. Pada umumnya, metris yang berlaku bagi sebuah kakawin, sama dengan kaidah-kaidah yang berlaku bagi persajakan Sanskerta, dan dapat dirumuskan sebagai berikut: sebuah bait terdiri atas empat baris, sedangkan masing-masing baris terdiri dari jumlah suku kata yang sama, disusun dalam pola metris yang sama. Menurut pola tersebut, kuantitas setiap suku kata – panjang atau pendeknya – ditentukan oleh tempatnya dalam baris beserta syarat-syaratnya; sebuah suku kata dianggap panjang apabila mengandung sebuah vokal panjang ( a, i, u, o, e, o, o, ai) dan bila vokal pendek disusul oleh lebih dari satu konsonan. Suku kata terakhir dalam setiap baris dapat bersifat panjang atau pendek. Aneka macam pola metrum ini dipakai dalam puisi Jawa Kuno, masing-masing dengan namanya sendiri (Zoetmulder, 1983: 119 – 121).
8 Lihat lampiran 6.
9 Ketujuh buku tersebut adalah: Pertama Bala – Kanda berupa kata pengantar tentang apa-apa yang dikisahkan pada buku kedua sampai keenam. Kedua Ayodya - Kanda berisi tentang Kerajaan Ayodya sampai pembuangan Rama ke hutan. Ketiga Aranya – Kanda berisi Rama, Sita, dan Laksmana yang mendirikan gubug di Pancawati sampai percarian Sita oleh Rama dan Laksmana ke pedepokan Sabari. Keempat Kiskenda – Kanda berisi tentang Sugriwa dibuang oleh Subali sampai Rama dan Laksmana mendapat khabar dari Sempati tentang Rawana penculik Sinta. Kelima Sundara – Kanda berisi Hanuman menemukan Sita di Taman Asoka sampai Anoman dan kawan-kawan melapor kepada Rama. Keenam Yuda – Kanda berisi pertempuran yang panjang antara Pasukan Rama dengan Pasukan Alengka. Ketujuh Uttara – Kanda berisi kisah Rawana yang panjang, merupakan lanjutan dari Yuda – Kanda (Lal, 1980: xxvi – xxxiii). Kāņ̣da, S. bagian ceritera (Wojowasito, 1977: 127); bāla, S. anak-anak muda (Wojowasito, 1977: 37); araņ̣ya, S. hutan, jauh, negara asing (Wojowasito, 1977: 24); .sundari, S. perempuan cantik (Wojowasito, 1977: 252); yuddha, S. perang, pertempuran (Wojowasito, 1977: 314); uttara, S. utara (Wojowasito, 1977: 252).
10 Yang dimaksud sastra tutur dalam konteks ini adalah sastra tertulis yang kemudian terjadi pengubahan-pengubahan akibat adanya tradisi transmisi.
11 Ceritera yang diketahui dalam Hayang nyaho di sakwéh ning carita ma: Damarjati, Sanghiyang Bayu, Jayaséna, Sedamana, Pu Jayakarma, Ramayana, Adiparwa, Korawasarma, Bimasorga, Rangga Lawé, Boma, Sumana, Kala Purbaka, Jarini, Tantri, sing sawatek carita ma mémén tanya (Danasasmita., dkk, 1987: 83).
12 Istilah kakawin memiliki pengertian kurang lebih, buah hasil dari puisi keraton, berupa syair, yang ceriteranya bersifat epis. Pada umumnya, metris yang berlaku bagi sebuah kakawin, sama dengan kaidah-kaidah yang berlaku bagi persajakan Sanskerta, dan dapat dirumuskan sebagai berikut: sebuah bait terdiri atas empat baris, sedangkan masing-masing baris terdiri dari jumlah suku kata yang sama, disusun dalam pola metris yang sama. Menurut pola tersebut, kuantitas setiap suku kata – panjang atau pendeknya – ditentukan oleh tempatnya dalam baris beserta syarat-syaratnya; sebuah suku kata dianggap panjang apabila mengandung sebuah vokal panjang ( a, i, u, o, e, o, o, ai) dan bila vokal pendek disusul oleh lebih dari satu konsonan. Suku kata terakhir dalam setiap baris dapat bersifat panjang atau pendek. Aneka macam pola metrum ini dipakai dalam puisi Jawa Kuno, masing-masing dengan namanya sendiri (Zoetmulder, 1983: 119 – 121).
13 Dianggap memiliki kesejajaran, karena ada kisah Rama dari Srilangka yang bersebrangan dengan kisah Rama dalam Kakawin Ramayana. “Kisah Rama versi Sri Langka mengalami penjungkirbalikan.” (Lanus, Menafsir Ramayana, dalam Kompas 23 Desember 2005). Ramayana versi Srilangka sebagai berikut. ”Rahwana raja arif, bijaksana, dan berpengetahuan luas.. Permusuhan Rahwana dengan Rama bukan sekedar rebutan cinta namun lebih berlatar politis religius. Rama cemburu kepada popularitas Rahwana kuatir mengancam kedaulatan teritorium kerajaannya. Rahwana mengirim Surpanika sebagai duta ke Ayodya, menikah dengan Laksman. Surpanika yang ekstrovert seperti umumnya wanita Langkapura tidak sesuai dengan wanita Ayodya yang cenderung introvert, sehingga mendapat tantangan dari keluarga Laksman. Rahwana berkunjung ke Ayodya akan membawa pulang kembali Surpanika karena sedih melihat perkawinannya. Sita yang ditinggal berburu oleh Rama, melihat penampilan Rahwana yang gagah perkasa dan berbudi pekerti baik, ia jatuh cinta. Atas kemauan sendiri ia mengikuti Rahwana ke Langkapura. Rama mengumumkan perang menyerbu Langkapura. Dalam kemelut peperangan secara diam-diam Rama menjalin hubungan dengan Wibhisana yang berambisi merebut tahta kakaknya. Walau balatentara Rahwana unggul, karena kelicikan Rama, perang usai setelah Rahwana tewas di tangan Wibhisana. Untuk kembali kepada posisinya sebagai permaisuri, Sita harus mensucikan diri melalui pembakaran. Bagi Sita pembakaran berarti belapati bagi kematian kekasihnya, Rahwana (Hani’ah, 1999). Lihat pula perbedaan dengan PR.
14 Lihat lampiran 7
15 Lihat lampiran 7
16 Istri pertama Martanagara Nji Armunah putri dari selir Pangeran Sugih - Bupati Sumedang. RAA Martanagara menikah dalam usia 5 tahun dan Nyi Armunah berusia 3 tahun. Pernikahan itu atas kesepakatan orang tua kedua belah pihak, setelah dewasa baru mereka berkumpul sebagai suami istri. Pada tahun 1870 Nyi Armunah meninggal dunia. Pada tahun 1872 RAA Martanagara menikah lagi dengan putri Pangeran Sugih bernama Raden Ajeng Sangkaningrat putri dari garwa padmi (permaisuri) putri Bupati Bandung yang bergelar Dalem Karanganyar. Pesta pernikahan diadakan secara besar-besaran karena Raden Ajeng Sangkaningrat putri bungsu dari garwa padmi dan putra pertama - bupati yang mendapat pendidikan Eropa. Pendidikan Eropa pertama berada di Sumedang. Hasil perkawinannya yang kedua mendapat 7 orang putra, setelah melahirkan putranya yang ke-7 pada bulan Juni 1897 beberapa hari kemudian Raden Ajeng Sangkaningrat meninggal dunia. RAA Martanagara menikah lagi dengan putri Pangeran Sugih dari selir bernama Nyai Raden Radjaningrat Dari perkawinan itu berputra 2 orang antara lain Aom Mahar yang lahir tahun 1899 (Martanagara, 1921) Aom Mahar lahir dengan badan berbulu. Hal ini menurut rumour, karena RAA Martanagara sangat menghayati Ramayana. Bulu-bulu itu hilang setelah dibacakan doa Nurbuwah” (Menurut keterangan Rd. Ahmad Wiriaatmaja, wawancara 15 September 2003).
17 Gambaran pengembangan pendidikan pada masa kolonial sebagai berikut:“Pada tahun 1817 didirikan Europeesche Lagere School (ELS) sekolah dasar untuk anak-anak Eropa. Pada tahun 1848 turun surat keputusan Raja Belanda yang isinya memberi wewenang kepada Gubernur Jendral Hindia Belanda untuk mendirikan sekolah pribumi di Pulau Jawa dengan tujuan utama mendidik calon juru tulis dan pegawai pribumi yang murid-muridnya berasal dari kalangan bangsawan. Atas dasar wewenang itu didirikan Sekolah Bumiputera (Inlandsche School) di ibukota keresidenan, termasuk di Keresidenan Priangan. Ternyata calon yang diprioritaskan untuk diterima menjadi murid sekolah ini anak-anak Belanda sendiri. Untuk mempersiapkan guru, pada tahun 1852 pemerintah mendirikan Kweekschool (Sekolah Guru). Pada tahun 1892, sekolah dasar Bumiputera terbagi dua yaitu Sekolah Dasar Kelas Satu dan Sekolah Dasar Kelas Dua. Sekolah Dasar Kelas Satu didirikan di ibukota keresidenan dan kabupaten, bagi anak-anak pribumi keturunan bangsawan. Sekolah ini sebagai standenschool, artinya sekolah yang tujuannya melatih dan menyeleksi calon yang akan memegang posisi dalam jabatan tertentu. Sekolah Dasar Kelas Dua diperuntukkan bagi anak-anak pribumi golongan rakyat kecil (Lubis, 2002: 30). Berdasarkan kronologis tentang pengembangan pendidikan seperti keterangan sebelumnya, diperkirakan penggubahan WBR seiring dengan pengembangan pendidikan formal untuk anak-anak pribumi. Namun begitu WBR ditulis dengan aksara Arab Pegon. Kemungkinan pada waktu itu aksara Arab Pegon lebih memasyarakat daripada tulisan Latin.
18 mite/mite/, (Bld) hikayat tt dewa-dewa spt Hikayat Mahabharata, Hikayat Sang Rama (Badudu-Zain, 1994: 903). Dalah khasanah kesenian Sunda, tidak semua mite dipentaskan dalam wayang, contoh antara lain Wawacan Ogin dan Wawacan Sulanjana, serta tidak semua ceritera wayang termasuk kelompok mite, contoh antara lain wayang cepak di Cirebon. Dengan demikian WBR harus dipisahkan sebagai wawacan mite dan sebagai wawacan wayang.
19 Istilah Zeitgeist dan Kulturgebundenheit (Lihat Lubis , 2000 b: 10)
20 Wawacan dalam khazanah kesastraan Sunda merupakan pengaruh dari khazanah kesusastraan Jawa beserta seluk beluk peristilahannya. Namun kemudian sejumlah istilah dalam khasanah kesusastraan Sunda berbeda penggunaannya dengan istilah dalam kesusastraan Jawa sebagai sumbernya. “Yang dimaksud pupuh adalah bagian dari suatu karangan atau karya sastra, yang bisa disamakan dengan bab. Pupuh biasanya dikaitkan dengan salah satu metrum, sebab dalam tradisi sastra Jawa lama penulisan sastra selalu menggunakan bentuk puisi (Saputra, 1992: 8). Dalam khasanah kesusastraan Sunda “pupuh adalah aturan membuat dangding; banyaknya 17 macam, antara lain sekar ageng Kinanti Sinom Asmarandana Dangdanggula, lainnya disebut macapat atau sekar alit (Salmun, 1958: 43-44), pendapat lainnya, “dangding adalah ikatan puisi yang sudah tertentu untuk melukiskan hal-hal yang sudah tertentu pula. Dangding terdiri dari beberapa bentuk puisi yang disebut pupuh. Pupuh-pupuh yang terkenal misalnya, Dangdanggula ...Kedua batasan ini maknanya sulit dicerna dan artinya simpang siur, arti dangding dan pupuh menjadi kabur. Sedangkan dalam khasanah kesusastraan Jawa dhong-dhing adalah guru lagu/jatuhnya vokal suku kata terakhir setiap larik (Saputra, 1992: 8). Untuk dangding pada penelitian ini, akan memakai peristilahan dari Ayip Rosidi, karena hampir mendekati pada istilah di Jawa dengan kata lain dangding adalah matra atau aturan membuat jenis puisi (pupuh). Pupuh yang lazim digunakan oleh pemakai pada masyarakat Sunda yakni jenis-jenis bentuk puisi yang dibangun melalui dangding. Untuk menyebut jenis pupuh yang mana, matra puisi dangding tertentu kemudian penyebutannya digabungkan contoh. Pupuh Dangdanggula. Pada khasanah kesusastraan Jawa satuan jenis bait yang menggunakan matra tersebut disebut tembang Untuk penyebutan satu bagian penyajian wawacan yang terdiri dari rentetan pupuh yang sama (yaitu pupuh dalam pengertian kesusastraan Jawa), pada khasanah kesusastraan Sunda belum ada, untuk itu akan digunakan istilah baru dengan bahasa Sunda yang pengertiannya mendukung pada referent yakni “runtuyan pada pupuh”
21 Struktur naratifnya kakawin: 1 .Manggala, yaitu bait-bait permulaan yang berfungsi sebagai pembuka kata sebuah kakawin, yang memuat pemujaan kepada dewa dan rajanya serta kerendahan hati sang penyair, serta tujuan penyair menggubah kakawin-nya (Ibid, 1974: 173). 2. Lukisan pemandangan alam, keindahan (wajah, tubuh, dan lain sebagainya). 3. Ajaran. 4. Perang atau pertempuran antara bala tentara yang terdiri dari pahlawan dan raksasa (Pradotokusumo, 2005).
22 Ajaran, ada dalam sejumlah wawacan namun tidak selalu ada pada setiap wawacan. Dalam wawacan Sunda ada karya yang khusus menyajikan ajaran seperti piwejang (wejangan) (lihat jenis-jenis wawacan) dan karya-karya teosofi tasawuf, dalam karya ini unsur naratif hanya alat/wadah/wahana/bingkai untuk menyajikan ajaran.
23 Perang, dalam sejumlah besar wawacan terdapat perang, dan sejumlah lainnya tidak. Pada umumnya wawacan mengisahkan peperangan antara pemeluk Islam dengan golongan kafir (kerajaan yang belum memeluk Islam dianggap kafir), kemenangan ada di pihak pemeluk Islam, selanjutnya negara kafir masuk Islam.
24 Istilah artistik dan estetik dipinjam dari Iser (dalam Eagleton, 1975) ... artistic refers to the text created by author, and the aesthetic to the realization accomplished by the reader.
25 Lihat Teeuw (1983: 1 – 11).
26 Pemikiran Derrida dikemukakan oleh Bertrand Russel (Lechte, 2001: 169 terjemahan dari Fiftty Key Contemporary Thinkers, 1994) bahwa sesuatu adalah sesuatu itu sendiri, sesuatu tidak serentak menjadi ada dan tiada.

Tidak ada komentar: